Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

Perluasan perkebunan kelapa sawit di tahun 1990-an hingga tahun 2005-an bergerak perlahan. Di tahun berikutnya hingga 2016-an, perluasan kelapa sawit berjalan cukup masif. Perkebunan kelapa sawit mandiri dan petani mandiri yang bergerak luas menjadi indikator terbesar pengembangan perkebunan kelapa sawit. Hal ini distimulasi keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta dan didorong atas adanya pasar ekonomi lokal kelapa sawit.

Secara ekonomi ekspansi perkebunan kelapa sawit berdampak pada terjadinya transformasi/perubahan pencaharian rumahtangga petani dari petani/berladang, berkebun karet dan nelayan menjadi petani kelapa sawit yang mengakibatkan penghasilan utamanya dari hasil usaha perkebunan kelapa sawit.

Intensitas konflik sosial terutama permasalahan antar petani dan petani dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit juga meningkat. Ekspansi kelapa sawit juga berdampak pada ekologi khususnya pada perubahan tutupan lahan hutan yang mengakibatkan perubahan suhu udara, hilangnya biodiversitas, dan permasalahan lingkungan lainnya.

Permasalahan yang juga terjadi dari ekspansi perkebunan kelapa sawit yaitu petani yang mempunyai lahan perkebunan kelapa sawit mandiri tumpang tindih dengan area konsesi tambang, HGU bahkan areal koservasi. Salah satu penyebab hal ini terjadi yaitu dikarenakan ketidakefektifan implementasi sistem tata Kelola perkebunan kelapa sawit pada level petani yang semakin berdampak pada berlanjutnya ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan.

Hasil kebun petani mandiri berupa Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang tidak bersertifikat dan berada di kawasan hutan serta lahan yang tumpang tindih  dengan konsesi juga ditampung oleh pasar lokal dalam bentuk loading ramp swasta yang sangar marak di sekitar lokasi kebun dan pabrik perusahaan swasta.

Permasalahan lingkungan yang terjadi akibat meluasnya areal perkebunan kelapa sawit yaitu penggunaan pupuk kimia yang berlebihan membuat lingkungan tercemar dengan segala akibatnya, termasuk residu pestisida. Penggunaan pestisida berlebihan justru menjadikan hama dan gulma menjadi resistan terhadap zat kimia dan menjadikan populasi hama menjadi lebih besar dan berbahaya bagi kondisi area lahan itu sendiri. Terlebih petani tidak menggunakan pengelolaan atau manajemen pemupukan yang tepat, seperti waktu terbaik untuk melakukan pemupukan, dosis penggunaan pupuk, jenis pupuk yang digunakan, dan cara memupuk.

Salah satu penyakit tanaman kelapa sawit yang mudah menyebar yaitu jamur patogenik Ganoderma, yaitu jamur yang bisa menyerang tanaman sawit dengan menggerogoti tumbuhan sawit dengan melakukan pembusukan pada pangkal batang. Selama kurun waktu tertentu, jamur ini pun bisa membuat tanaman menjadi mati.

Dari segala permasalahan dan dampak perluasan perkebunan kelapa sawit juga terdapat hal positif antara lain kesempatan kerja, peluang berusaha, peningkatan pendapatan masyarakat, bantuan pendidikan, serta bertambah dan berkembangnya organisasi di masyarakat. Perubahan dari sisi kultur masyarakat yaitu terjadi proses inovasi, difusi, dan integrasi yang mempengaruhi unsur-unsur kebudayaan masyarakat.

Dalam aspek global, perkembangan industri perkebunan kelapa sawit khususnya secara signifikan mengurangi peningkatan total kebutuhan lahan untuk memproduksi minyak nabati, dimana untuk memproduksi 1 ton minyak nabati, hanya membutuhkan 0,26 hektar lahan kelapa sawit. Sementara butuh 1,43 hektar lahan untuk bunga matahari dan 2 hektar lahan kacang kedelai untuk memproduksi 1 ton minyak nabati.

Seiring dengan perkembangan tersebut, santer juga dilakukan usaha perkebunan yang berkelanjutan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata Kelola yang baik. ISPO atau Indonesian Sustainable Palm Oil maupun RSPO atau Roundtable Sustainable

Palm Oil menjadi standar pengelolaan sawit yang berkelanjutan dan berkontribusi terhadap 12 dari 14 tujuan SDGs.

Dengan penerapan prinsip-prinsip ISPO yakni kepatuhan terhadap peraturan dan perundangan, penerapan praktek perkebunan yang baik, pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, tanggung jawab terhadap pekerja, tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, penerapan transparansi hingga peningkatan usaha berkelanjutan, akan menjadi factor-faktor penentu untuk terus mendukung pengembangan industry perkebunan kelapa sawit dengan upaya mengurangi dampak negatif yang dimungkinkan terjadi.

(Djoko Purwanto, C2081211007, Penulis adalah Mahasiswa Magister Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak).